Pemberdayaan Kelompok Tani Penghijauan Dalam Implementasi Program Rehabilitasi Lahan Dan Konservasi Tanah Di Desa Wanurojo Kecamatan Kemiri Kabupaten Purworejo

Penulis: Aluysius Bambang Setyawan
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Program Studi Magister Administrasi Publik
Bidang Konsentrasi: Kebijakan Publik

Ringkasan:

Banjir di musim penghujan selalu terjadi di Kabupaten Purworejo. Menimbulkan korban harta dan benda yang merugikan masyarakat. Bencana banjir terjadi karena pendangkalan sungai sebagai akibat adanya erosi. Akibat lain erosi, tanah yang terbawa oleh air hujan masuk ke sungai akan menyebabkan sungai di hilir, menjadi dangkal sehingga daya guna dan masa gunanya berkurang secara tidak langsung menyebabkan banjir di musim hujan. Mencermati kejadian-kejadian yang merugikan masyarakat serta kompetensi mengantisipasi ke masa depan maka mutlak diperlukan tindakan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) di Kabupaten Purworejo. RLKT adalah upaya manusia untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan daya dukung lahan agar berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Implementasi kebijakan tersebut mengikutsertakan masyarakat yaitu melalui pendekatan pemberdayaan dengan aktornya Kelompok Tani Penghijauan (KTP)

Penelitian pemberdayaan KTP di Desa Wanurojo dengan program RLKT untuk mengendalikan erosi dan banjir menggunakan metode kualitatif. Dengan tujuan untuk mengetahui pemberdayaan KTP dalam program RLKT dalam usaha mengendalikan erosi dan banjir, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pemberdayaan KTP dalam program RLKT dalam usaha mengendalikan erosi dan banjir dan memberikan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Purworejo khususnya Dinas Pertanian dan Kehutanan dalam menanggulangi erosi dan banjir.

Pemberdayaan merupakan pendekatan yang dipergunakan untuk melaksanakan program RLKT. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberdayaan adalah partisipasi, komitmen birokrasi, koordinasi dan komunikasi. Tanpa mendapatkan partisipasi dari masyarakat usaha pembangunan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat tidak akan dapat terwujud apalagi berhasil. Dalam partisipasi terdapat dinamika antara sesama anggota masyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah sebagai implementor suatu kebijakan pemberdayaan itu sendiri. Komitmen birokasi merupakan perjanjian atau keterikatan birokrasi untuk melakukan sesuatu, dalam kaitan ini adalah melakukan pemberdayaan. Pemerintah dalam hal ini birokrasi merupakan aktor yang ikut bermain dalam segala bidang pembangunan baik di pusat maupun di daerah. Koordinasi yang baik akan menimbulkan semangat kerjasama antar unit ataupun personil, semangat kerjasama merupakan faktor penentu kinerja. Dengan komunikasi akan ada kesamaan persepsi sehingga terdapat satu pemahaman dalam melaksanakan suatu kegiatan. Sinergi antara variabel-variabel tersebut sangat diperlukan untuk menuju suatu pemberdayaan masyarakat. Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat akan berfungsi dan berjalan dengan lancar apabila masing-masing variabel dapat berfungsi dengan baik dan saling mendukung.

Hasil temuan di lapangan partisipasi belum optimal, kegiatan program lebih bersifat top down dari pemerintah. Birokrasi lebih dominan dalam pengelolaan program Koordinasi belum optimal dilaksanakan. Sehingga pelaksanaan program RLKT dengan pembuatan Hutan Rakyat melalui pendekatan pemberdayaan belum dapat dikatakan berhasil untuk disebut sebagai suatu pemberdayaan.

Berkaitan dengan hal tersebut direkomendasikan agar birokrasi lebih mengikutsertakan masyarakat dalam menentukan jenis kegiatan RLKT yang sesuai dengan kondisi biofisiknya. Demikian juga agar lebih meningkatkan koordinasi dan komunikasi melalui penyuluhan berbentuk kunjungan lapangan. Dengan bottom up planning dan monitoring kegiatan yang terprogram diharapkan program RLKT untuk pengendalian erosi dan banjir di Kabupaten Purworejo akan mencapai tujuannya.
Read more

Analisis Kebijakan Lingkungan Hidup Di Era Otonomi Daerah

(Studi Pada Industri Manufaktur Di Kabupaten Semarang)

Penulis: Iwan Setiyarso
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Program Studi Magister Administrasi Publik

Ringkasan:

Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki tanggungjawab yang besar dalam mengembangkan daya dukung lingkungan yang memadai untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Untuk itu kemampuan pengelolaan kebijakan lingkungan hidup perlu ditingkatkan, karena kualitas lingkungan hidup merupakan penyangga kehidupan mahluk hidup dalam suatu ekosistem yang seimbang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efektivitas pengelolaan lingkungan hidup yang dapat dicapai, dan dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pencapaian efektivitas yang diukur melalui variabel sanksi hukum, kontrol masyarakat dan komitmen pengusaha di Kabupaten Semarang.

Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskripsi kualitatif dengan menganalisis hasil wawancara, data primer maupun data sekunder yang terdapat di Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten Semarang, BPS Daerah, dan data dari Bappeda Kabupaten Semarang.

Dari hasil penelitian dan analisis ditemukan bahwa efektivitas implementasi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup telah menunjukkan hasil yang belum optimal yang ditunjukkan oleh banyaknya kasus limbah tercemar yang dilakukan oleh pihak industri di wilayah Kabupaten Semarang. Persepsi dan respon masyarakat terhadap masalah pengelolaan lingkungan hidup cukup tinggi. Faktor-faktor mempengaruhi menunjukan bahwa faktor sanksi hukum (law enforcement) menunjukkan hasil yang tidak optimal yang terindikasi dari kontra prestasi dalam bentuk kompensasi hanya terjadi pada pencemaran saluran irigasi sebesar 50 % dari kerugian, sedangkan kompensasi pada saluran drainase dan sungai tidak terjadi. Sementara penindakan pelanggaran pada level pengadilan terjadi tidak sampai pada tingkat penutupan operasi pabrik. Faktor kontrol masyarakat menunjukkan bahwa frekuensi teguran yang dilakukan masyarakat terhadap pihak industri terjadi, dan somasi yang disampaikan masyarakat ditujukan langsung kepada pihak industri. Faktor komitmen pengusaha menunjukkan hasil yang belum optimal terindikasi dari ketaatan prosedur aktivitas pabrik di kalangan pengusaha di Kabupaten Semarang belum cukup tinggi, sedangkan alat pengolah limbah dari masing-masing pabrik belum semua miliki.

Rekomendasi dari hasil penelitian ini adalah keterlibatan seluruh pelaku yang ada untuk mencari solusi terbaik, sehingga interaksi kegiatan industri dengan lingkungan sekitarnya akan memberikan hasil terbaik. Pembenahan sanksi hukum harus proporsional, mengkampanyekan sadar lingkungan hidup bagi kalangan industri untuk memiliki tanggungjawab yang penuh. Faktor kontrol masyarakat perlu dibenahi secara matang melalui aktivitas interaksi antara masyarakat dengan kalangan industri melalui kegiatan sosial. Komitmen pengusaha ditingkatkan melalui kegiatan proses analisis dampak lingkungan (Amdal) harus menjadi ketentuan yang tidak bisa dihindari dan pengawasan serta pemeriksaan terhadap peralatan atau sarana pengolah limbah, apakah masih berfungsi dengan baik atau tidak.
Read more

Jaringan Kerja Antar Pemerintah Daerah, Swasta Dan Masyarakat Dalam Pengembangan Industri Pariwisata Di Kabupaten Kepulauan Riau

Penulis: Dahlia Zulfah
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Program Studi Magister Administrasi Publik
Bidang Konsentrasi: Kebijakan dan Manajemen Otonomi Daerah

Ringkasan:

Sinergi pemerintah daerah, swasta dan masyarakat dalam mewujudkan pelaksanaan kepemerintahan yang baik dewasa ini menjadi salah satu agenda menuju reformasi birokrasi dan administrasi publik. Pemerintah akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas dan masyarakat yang banyak tuntutan. Di dalam masyarakat yang plural, peran pemerintah akan semakin menyempit serta tidak lagi mendominasi dan monopolistik tetapi lebih kepada memberdayakan peran swasta dan masyarakat terutama dalam menggerakkan sektor-sektor ekonomi makro dan mikro. Peran pemerintah daerah sebagai regulator, stabilitator dan fasilitator juga sangat diperlukan sebagai penguasa wilayah untuk menjembatani dan menyeimbangi antara kepentingan pelaku bisnis dan kepentingan masyarakat agar tidak menimbulkan distorsi dan stagnasi. Industri pariwisata sebagai salah satu mata rantai perekonomian dalam pengelolaannya tidak akan terlepas dari ketiga aktor (tripartit) tersebut, namun dalam menjalankankan perannya tidak akan terlepas dari kondisi sosial politik dan sosial budaya di daerah.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa bentuk-bentuk kerjasama antar Pemda,swasta dan masyarakat di Kabupaten Kepulauan Riau dalam mengelola industri pariwisata dan untuk memahami peran dari masing-masing pelaku serta untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pola kerjasama. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam , observasi dan dokumentasi. Sebagai sumber data dan populasinya adalah yang mewakili pemerintah daerah seperti Bupati dan pejabat dinas/instansi terkait yang ada hubungan dengan pariwisata, para pelaku bisnis pariwisata dan masyarakat peduli wisata dengan menggunakan sample bertujuan yang ditentukan pada orang-orang tertentu saja.

Dari hasil analisis dan pembahasan ditemukan bahwa bentuk kerjasama yang dilakukan di Kabupaten Kepulauan Riau dalam mengelola industri pariwisata akibat dari kerjasama bilateral antar Pemerintah RI dan Pemerintah Singapura, Pemda hanya menerima dampak dari kerjasama dimaksud dalam hal kontribusi penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pajak hotel dan restoran, dalam hal pemilikian saham Pemda Kabupaten Kepulauan Riau tidak memiliki sama sekali. Sedangkan bentuk kerjasama yang lainnya dalam mengembangkan ekowisata masih berada dalam kawasan ekonomi eksklusif P.Bintan. Efek rembesan dari kedua bentuk kerjasama tersebut secara tidak langsung memberikan dampak yang positif bagi perkembangan ekonomi masyarakat namun belum merata di setiap daerah.

Disarankan kepada Pemda Kabupaten Kepulauan Riau untuk lebih meningkatkan pariwisata sebagai sektor andalan dengan membuat beberapa kebijakan kerjasama dimana Pemda bukan hanya sebagai penyedia lahan tetapi ikut memiliki dalam kepemilikan saham dengan prinsip pembagian keuntungan dengan demikian tidak hanya Pemda memperoleh kontribusi PAD tetapi perolehan bagi hasil,serta masyarakat akan diuntungkan dengan adanya efek imbasan kebawah.
Read more

Implementasi Program Rehabilitasi Gelandangan Dan Pengemis Di Kota Yogyakarta

Penulis: Dedek Diana Sita
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Program Studi Magister Administrasi Publik

Ringkasan:

Dalam hal menangani masalah meningkatnya gelandangan dan pengemis terutama di daerah perkotaan seperti Kota Yogyakarta dimana meningkatnya jumlah gelandangan pengemis terutama di lokasi-lokasi yang diidentifikasi sebagai daerah rawan gepeng ini memberikan pandangan “negatif” terhadap ketertiban, kenyamanan dan keindahan kota Yogyakarta bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Keadaan ini yang melatarbelakangi dikeluarkannya PP NO. 31 Tahun 1981 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Namun, yang diperlukan tentunya bukan hanya sekedar tersedianya peraturan tetapi yang paling mungkin dilakukakan adalah bagaimana memecahkan teka-teki disekitar pelaksanaan (implementation) penanganan tersebut.

Implementasi Program Rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini bertujuan untuk (1) adanya peran serta masyarakat membantu gelandangan dan pengemis, serta, (2) mengembangkan kemampuan gelandangan dan pengemis guna mencapai taraf hidup, kehidupan dan penghidupan yang layak ditandai dengan adanya perubahan Kualitas Fisik (KF) dan Kualitas Non Fisik (KNF) mereka.

Dimana, dalam tulisan ini penulis mencoba mencermati dan mengemukakan bagaimana proses implementasi Program Rehabilitasi Gelandangan dan Pengemis melalui upaya rehabilitatif dalam program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan mendiskripsikan proses implementasi Program Rehabilitasi tersebut, yang meliputi beberapa kegiatan yakni (1) pendekatan awal yang terdiri dari beberapa langkah yaitu mengadakan orientasi mengenai kondisi dan situasi gepeng, identifikasi terhadap gepeng tentang kemungkinan program penanganan yang akan diberikan, dan memotivasi para gepeng, (2) penerimaan yang terdiri dari beberapa langkah yaitu registrasi, penelaahan dan pengungkapan masalah, dan penempatan gepeng ke dalam panti, (3) dan bimbingan dan latihan yang terdiri dari bimbingan fisik dan mental, bimbingan sosial, bimbingan ketrampilan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari implementasi yang dilakukan diketahui terdapat Inefektivitas terhadap pencapaian tujuan yang ditunjukkan dari: 1) rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam penanganan masalah gelandangan dan pengemis ini, 2) rendahnya tingkat perubahan Kualitas Fisik (KF) klien untuk menjadi lebih mandiri sehingga berpengaruh pula terhadap kualitas hidup klien setelah mengikuti program, 3) rendahnya Kualitas Non Fisik (KNF) Klien yang ditunjukkan dengan masih ditemukannya ex-klien yang melakukan tindak pergelandangan dan pengemis serta tingginya tingkat ketergantungan klien.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inefektifitas ini adalah: 1) Resorses, yang terdiri dari untuk variabel resorses yang terdiri dari: sumber daya aparat diketahui bahwa jumlah aparat yang tersedia serta kemampuan dan tingkat pendidikan yang mereka miliki masih kurang memadai; belum konsistennya pemerintah Kota Yogyakarta dalam penyediaan sarana dan prasarana penyelenggaraan program, serta adanya upaya perbaikan akan penyediaan anggaran yang menunjukkan tingkat konsistensi pemerintah terhadap ketersediaan anggaran; 2) faktor komunikasi dinilai tidak konsisten, 3) factor Disposisi atau sikap Implementor dinilai dari indikator responsibilitas dinilai cukup baik sedangkan untuk tingkat fleksibelitas aparat dinilai kurang (rendah), 4) serta factor Struktur Birokrasi dilihat dari indikator struktur organisasi dinas dinilai baik, namun tidak sama halnya dengan koordinasi baik intern dan ekstern organisasi yang dinilai tidak berjalan dengan baik.

Akhirnya, penulis menganjurkan bahwa dalam penanganan gelandangan dan pengemis ini akan lebih baik hasilnya bila: 1) dalam proses rehabilitatif tersebut hendaknya lebih menekankan pada pencapaian kepuasan dan kemandirian klien melalui komunikasi dua arah dan menghindari sifat kaku dalam setiap kegiatan pembinaan maupun penyuluhan pada klien, 2) perbaikan proses pembinaan selama mengikuti program dan keterlibatan semua pihak termasuk di dalamnya masyarakat untuk membantu ex-klien Untuk itu, menurut penulis ada tiga kategori yang harus dipenuhi yakni pertemanan, kesetaraan dan partisipasi dari berbagai pihak, 3) serta, kembali terjalinnya kerjasama antar wilayah pemerintahan dalam penanganan masalah ini atau diadakannya kembali program transmigrasi sebagai bentuk kerjasama antara departemen transmigrasi dan departemen sosial.
Read more